Revisi UU KPK, sejak awal kelahiran KPK tidak disenangi

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengajukan inisiasi untuk melakukan revisi Undang-Undang Komiisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK).

Menurut Mantan Wakil Ketua KPK, yang juga Ketua Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi (GMPK) Bibit Samad Riyanto, sejak awal kelahiran KPK tidak disenangi, dan kelahirannya dianggap salah lahir.

“Yang jelas kalau kita dengar komentar Pak Ruhut jangan untuk melemahkan KPK, namun ada hal yang memperkuat KPK. Kalau revisi itu dilakukan itu semua ingin dibongkar. Ini kesempatan, dan dari awal KPK tidak disenangi, dan kelahirannya dianggap salah lahir,” kata Bibit dalam dialog Pro3 RRI, Kamis (8/10/2015).

Sehingga, jelasnya, sudah ada yang ingin melakukan yudicial review terhadap KPK sebanyak 13 kali dan tidak mempam. Akhirnya KPK melihat ada rekayasa, dan ada istilah cicak dan buaya.

“Alhamdulillah ada positifnya. Dulu stress juga dan saya turun 11 kg,” tuturnya.

“Kemudian sekarang sih, dan kecuali KPK tidak berfungsi, dan bolehlah direvisi. Saya pengalaman di polisi 30 tahun, pernah di Kapolres dan WaKapolda dan Kapolda. Itu yang namanya penyidikan dan penuntutan itu adalah sinergi yang luar biasa,” ujarnya.

Pengalaman di kepolisian 30 tahun, terangnya, dan disitu untuk mengundang jaksa itu susah. Jadi kasus perampokan dan penodongan itu susah. Seperti Tipikor dan korupsi itu ada duitnya cepat juga.

KPK menolak tegas rencana revisi UU KPK yang disampaikan DPR. Plt Ketua KPK Taufiequrachman Ruki menyampaikan 6 poin pernyataan sikap KPK terhadap rencana revisi yang dianggap akan melemahkan tersebut.

Berikut enam poin pernyataan sikap KPK:

1. Tidak perlu dilakukan pembatasan masa kerja KPK yang disebutkan di situ paling lama 12 tahun, karena sesuai Pasal 2 angka 2 TAP MPR No 8/2001, menyatakan bahwa MPR mengamanatkan pembentukkan KPK dan dalam TAP MPR tersebut tidak disebutkan adanya pembatasan waktu.

2. Tidak perlu dihapuskan kewenangan penuntutan karena proses penuntutan yang dilakukan oleh KPK merupakan salah satu bagian tidak terpisahkan dari proses penanganan perkara secara terintegrasi. Selama 12 tahun ini KPK telah mampu membuktikan adanya kerja sama yang baik antara penyelidik, penyidik, penuntut umum yang dibuktikan dengan dikabulkannya seluruh tuntutan oleh majelis hakim tipikor, 100 percent convictional rate.

3. Pembatasan penanganan perkara oleh KPK harus di atas Rp 50 miliar adalah tidak mendasar, karena KPK fokus kepada subjek hukum, bukan kepada kerugian negara, yaitu subjek hukumnya adalah penyelenggara negara sesuai dengan TAP MPR 11/1999 dan UU nomor 28/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN.

4. KPK memperkuat akuntabilitas dalam pelaksanaan kewenangan penyadapan. Berdasarkan putusan MK tahun 2003, MK menyatakan bahwa kewenangan penyadapan KPK tidak melanggar konstitusi sehingga perlu dipertahankan. Selama ini kewenangan penyadapan sangat mendukung keberhasilan KPK dalam pemberantasan korupsi. Apabila dicabut, akan melemahkan upaya-upaya pemberantasan korupsi. Kedua berwenangan melakukan penyadapan berdasarkan UU, ini adalah legal by regulated, bukan court order, bukan atas izin pengadilan.

5. KPK tetap tidak memiliki SP3 kecuali secara limitatif disebutkan:
 1) Apabila tersangka/terdakwa meninggal dunia, kalau meninggal mau tidak mau penydiikan harus dihentikan. Kalau ada proses perdata itu persoalan lain
 2) Kedua tersangka tidak layak diperiksa di pengadilan, unfit to stand trial.

6. KPK harus diberikan kewenangan untuk melakukan rekrutmen pegawai secara mandiri termasuk mengangkat penyelidik, penyidik, dan penuntut umum, yang diangkat langusng pimpinan KPK berdasarkan kompetensinya. Bukan berdasarkan statusnya sebagai polisi atau jaksa, tapi berdasarkan kompetensi yang dimilikinya. (SAS/WDA)

Sumber : www.rri.co.id

Kantor DPP GMPK

Jl. Budi Raya No. 9 B
Gedung DNR Lantai 1
Kebon Jeruk
Jakarta Barat
Kode Pos 11530
Telp : (021) 532-7604
Email: informasi@gmpk.org

Kirim Pengaduan

Silahkan mengirim artikel anda ke dumas@gmpk.org

Peta Lokasi Kantor

Ke atas