1. Pengantar
Dalam penjelasan umum Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) dinyatakan bahwa tindak pidana korupsi (tipikor) tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa melainkan telah menjadi suatu kejahatan luar biasa. Begitupun dalam upaya pemberantasannya , tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara yang luar biasa. Mengapa tipikor digolongkan sebagai kejahatan luar biasa ? Dalam penjelasan umum tersebut disebutkan bahwa meningkatnya tipikor yang tidak terkendali akan membawa bencana tidak saja terhadap kehidupan perekonomian nasional, tetapi juga pada kehidupan berbangsa dan bernegara pada umumnya. Tipikor yang meluas dan sistematis juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan hak-hak ekonomi masyarakat.
Kalimat yang berbunyi ...”meningkatnya tipikor yang tidak terkendali”... dapat mengandung makna bahwa tipikor telah dilakukan oleh sebagian besar masyarakat pada semua lapisan/strata sosial/jabatan/profesi/usia/dan sebagainya, bahkan gender. Benarkah demikian ? Jawabannya ada pada diri kita masing-masing. Mari kita bertanya kepada diri kita sendiri, apakah sepanjang hidup kita tidak pernah melakukan tipikor ? Seandainya benar kita tidak pernah melakukan tipikor, apakah memang hal itu disebabkan oleh kuatnya iman kita (benar-benar tidak ada niat) ataukah karena kita tidak mempunyai kesempatan untuk melakukan tipikor ? Hampir dapat dipastikan bahwa sebagian besar diantara kita (apabila jujur) akan menjawab bahwa kita memang pernah melakukan tipikor (walaupun kecil-kecilan).
Dalam bukunya yang berjudul “Koruptor Go To Hell” (2009), Bibit S Rianto menyebutkan bahwa faktor yang mempunyai potensi masalah penyebab korupsi (PMPK), terdiri atas : 1). Sistem yang kurang baik; 2). Integritas moral pejabat dan masyarakat yang rendah; 3). Remunerasi yang tidak rasional; 4). Kontrol atau pengawasan yang lemah; dan 5). Budaya taat kepada hukum yang lemah.
Potensi tersebut akan menjadi tindakan nyata (tipikor) apabila calon pelaku memiliki setidaknya empat faktor berikut : a). Hasrat/niat untuk melakukan (desire to act); b). Kemampuan untuk melakukan (ability to act); c). Kesempatan (opportunity); dan d). Sasaran/target yang terjangkau (suitable target). Sebaliknya, walaupun calon pelaku memiliki keempat faktor tersebut, namun apabila kelima faktor PMPK itu telah ditiadakan, maka dapat diharapkan tidak akan terjadi tindakan nyata tipikor.
Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang bisa kita (sebagai manusia atau warga negara biasa) lakukan dalam rangka ikut berupaya memberantas atau mencegah terjadinya tipikor ? Idealnya, tentu apabila kita bisa berperan aktif dalam memperbaiki guna meniadakan semua faktor PMPK tersebut. Namun hal ini tentu tidak bisa dilakukan oleh semua orang secara individual, sebab tidak semua orang mempunyai kompetensi dan kesempatan untuk itu. Satu-satunya hal yang bisa dilakukan oleh setiap orang secara individual adalah memperbaiki atau meningkatkan kualitas integritas moralnya masing-masing. Seseorang yang berintegritas tinggi, apabila berkesempatan membuat sistem, tentu akan dibuatnya sistem yang baik yang menutup semua celah-celah kemungkinan melakukan tipikor. Apabila remunerasi yang diterimanya belum mencukupi kebutuhannya, dia tidak akan menghalalkan segala cara. Apabila dalam dia bekerja tanpa ada pengawasan, dia tidak akan menggunakan kesempatan itu untuk melakukan pelanggaran hukum. Pengawasan tidak hanya dilakukan oleh atasan atau badan pengawas yang dibentuk untuk melakukan pengawasan (BPK, BPKP, Inspektorat) tetapi juga pengawasan oleh masyarakat ( social control ). Terkait dengan remunerasi ini perlu ada transparansi tentang penghasilan sesorang pegawai / pejabat , disarankan antara penghasilan itu SAMA dengan gaji yang diterima. Hal ini sering disebut dengan istilah SINGLE SALARY . SEHINGGA SAAT PENSIUN ORANG TERSEBUT dapat dihitung berapa maksimal kekayaan yang dimilikinya. Seorang Walikota / Bupati tidaklah RASIONAL kalau digaji hanya Rp 6, 000000,- (ebnam juta rupiah) sebulan. Begitu pula seorang Presiden tidaklah rasional apabila hanya digaji sebesar Rp 62,5000, 000,- (enam puluh dua setengah juta) sebulan. Namun tunjangan yang diterimanya secara tidak transparan diberikan untuk mencukupi keperluannya. Akhirnya penghasilan jauh lebih besar dari gaji resmi yang seharusnya diterima. Dan akhirnya, dia pun dapat mempengaruhi orang lain agar juga berintegritas yang pada gilirannya akan terwujud budaya taat hukum orang-orang di sekitarnya.
Kunci keberhasilan dalam upaya menghindari perbuatan korupsi adalah dengan menerapkan konsep dasar tahu-mau-mampu. Tahu mengenai pengertian, makna hakiki , dampak, sanksi, dan sebagainya tentang korupsi. Mau dengan niat sungguh-sungguh dan ikhlas untuk tidak atau berhenti melakukan korupsi. Mampu melaksanakan niatnya dengan pantang menyerah dalam menghadapi berbagai rintangan. Konsep dasar yang sama juga diterapkan dalam berikhtiar membangun atau meningkatkan kualitas integritas. Dan itu semua harus dimulai dari diri sendiri, dari hal yang kecil-kecil, dan mulai saat ini juga.
2. Sekilas tentang korupsi
Jika kita ingin mengetahui (mencari tahu) mengenai segala sesuatu tentang korupsi, akan lebih lengkap apabila tidak hanya memandangnya dari aspek hukum positif, melainkan juga dipandang dari aspek hukum agama. Tentu hal ini hanya berlaku bagi orang-orang yang mengaku beragama. Mengapa demikian ? Karena sesungguhnya semua agama melarang pemeluknya melakukan perbuatan korupsi. Nah, apabila kita memandang korupsi hanya dari aspek hukum positif, maka kemungkinan terlepas dari sanksi hukumnya sangat besar, bisa karena perbuatan tipikor yang kita lakukan tidak diketahui oleh penegak hukum, bisa karena jumlah nominal yang kita korupsi tidak sebanding dengan biaya yang diperlukan dalam proses hukumnya, bisa karena terjadinya penyimpangan dalam proses peradilannya, juga bisa karena hal-hal yang lain.
Apabila dipandang dari aspek hukum agama, tipikor sekecil apapun nilai nominalnya pasti akan terdeteksi, dan tetap mendapat sanksi hukum dengan proses peradilan yang sangat adil, pada saatnya nanti.
Tipikor menurut hukum positif Indonesia diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Menurut UU No. 31 Tahun 199 jo. UU No. 20 Tahun 2001 itu, tipikor dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis, yang dikelompokkan ke dalam tujuh kelompok, yaitu tipikor yang terkait dengan : 1). Kerugian keuangan negara; 2). Suap menyuap; 3). Penggelapan dalam jabatan; 4). Pemerasan; 5). Perbuatan curang; 6). Benturan kepentingan dalam pengadaan; dan 7). Gratifikasi. Disamping tujuh kelompok tersebut, masih terdapat tindak pidana lain yang berkaitan dengan tipikor, yaitu : merintangi proses pemeriksaan perkara korupsi; tidak memberi keterangan atau memberi keterangan yang tidak benar; Bank yang tidak memberikan keterangan rekening tersangka; saksi atau ahli yang tidak memberi keterangan atau memberi keterangan palsu; orang yang memegang rahasia jabatan tidak memberikan keterangan atau memberi keterangan palsu; dan saksi yang membuka identitas pelapor.
Masing-masing kelompok tipikor tersebut telah ditentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi dan sanksi atau ancaman hukumannya. Berikut salah satu rumusan tipikor menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun2001, Pasal 2 ayat (1) : “Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)”
Dalam hukum agama, korupsi dikategorikan sebagai tindakan mengambil/memakan yang bukan haknya. Agama tidak memberikan definisi yang jelas tentang korupsi, yang ada adalah larangan mengambil/memakan yang bukan haknya dan sanksinya. Sebagai contoh misalnya, dalam agama Islam, Allah Swt. berfirman : “hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama suka diantara kamu.......” (QS. 2 : 29), dan pada QS. 2 : 30, Allah Swt. berfirman : “dan barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka Kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka. Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah”
Larangan mengambil/memakan yang bukan haknya juga dijelaskan dalam beberapa hadits, diantaranya adalah “
- Rasulullah saw. bersabda : “Hai Saad, perbaikilah makananmu, niscaya do’amu akan dikabulkan oleh Allah. Demi dzat Muhammad yang ada dalam kekuasaanNya, sesungguhnya sesuap saja makanan yang haram bila masuk ke dalam perut, maka ibadahnya tidak akan diterima Allah selama 40 hari. Hamba mana saja yang dagingnya tumbuh dari barang haram dan riba, maka api neraka akan melahapnya”. (HR. Mardawih dan Thabrani);
- Rasulullah saw. bersabda : “barang siapa membeli baju seharga sepuluh dirham, sedangkan satu dirham saja dari yang sepuluh dirham itu berasal dari sumber yang haram, maka Allah Swt. tidak akan menerima shalat orang tersebut selama baju itu dipakainya”. (HR. Ahmad).
Pada uraian sekilas mengenai korupsi yang dipandang dari aspek hukum positif dan aspek hukum agama di atas, kita sudah bisa merasakan suatu perbedaan yang siknifikan, yaitu : kita bisa terlepas dari sanksi korupsi dalam ketentuan hukum positif, tetapi kita tidak bisa terlepas sedikitpun dari sanksi korupsi dalam aturan hukum agama. Pemahaman yang seperti inilah yang dapat mencegah kita untuk melakukan tipikor.
Sebagai ilustrasi cara memaknai korupsi dalam pandangan aspek hukum positif dan hukum agama, dapat dikemukakan sebagai berikut :
“A seorang Pegawai Negeri Sipil telah melakukan perbuatan rekayasa bukti perjalanan dinas (perbuatan melawan hukum) senilai Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah) yang digunakan untuk kepentingannya sendiri”
Pada kasus ini, jika dipandang dari aspek hukum positif, dapat disimpulkan bahwa perbuatan A telah memenuhi unsur-unsur tipikor, yaitu : ada orang yang melakukan; perbuatannya melawan hukum; untuk memperkaya diri sendiri; dan dapat merugikan keuangan negara. Namun apabila perbuatan ini dilaporkan kepada aparat penegak hukum, apakah pasti akan diproses sesuai ketentuan yang berlaku ? Jawabannya belum tentu. Bisa jadi laporan tersebut tidak diproses karena nilai nominal yang dikorupsi relatif sangat kecil dibanding dengan biaya yang akan dikeluarkan untuk memprosesnya, atau karena alasan lainnya. Terlebih lagi kalau perbuatannya itu tidak diketahui oleh orang lain. Kalau ini yang terjadi, maka selamatlah A dari pengenaan sanksi pidana korupsi.
Sekarang, apabila dipandang dari aspek hukum agama, jelas bahwa A telah memakan harta yang bukan haknya. Tentu perbuatan ini tidak bisa disembunyikan dari penglihatan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Bagi orang yang beragama dengan baik, pasti akan meyakini adanya hukuman pada kehidupan setelah mati nantinya.
3. Membangun integritas
Kata integritas berasal dari kata Latin “integer” yang berarti kekomplitan, keseluruhan, dan kesegalaan. Secara bahasa, integritas berarti kejujuran, ketulusan hati, dan keutuhan (Echols dan Shadily, 2000 : 326). Dalam beberapa buku bacaanlainnya banyak ditemukan pengertian mengenai integritas. Namun dapat disimpulkan semuanya mempunyai persamaan makna, yaitu suatu sifat yang utuh (antara hati, kata, dan perbuatan) yang mendasari setiap kegiatan yang mengarah kepada hal-hal kebaikan, kejujuran, dan kebenaran.
Seperti halnya pada pembahasan mengenai korupsi, kita juga harus mencari tahu mengenai segala sesuatu mengenai integritas, bukan terbatas hanya pada pengertian atau makna integritas. Yang lebih penting adalah mencari jawaban atas pertanyaan : Mengapa kita harus berintegritas (apa untung ruginya seseorang yang berintegritas dan sebaliknya juga seseorang yang tidak berintegritas) ?; Bagaimana strateginya agar kita bisa membangun dan memelihara integritas kita ?; dan sebagainya.
Pada beberapa kali pelaksanaan pelatihan integritas, diperoleh jawaban dari peserta atas pertanyaan mengapa kita harus berintegritas ? sebagai berikut :
- Manfaat berintegritas :
- Bebas (tanpa beban) dalam berbicara;
- Hidup tenang, tanpa dihantui perasaan berdosa;
- Penampilan sehari-hari tampak riang (tidak murung);
- Disenangi dan disegani oleh teman;
- Dan sebagainya.
- Tantangan orang yang berintegritas :
- Hidup sederhana, kadang terkesan kekurangan;
- Kadang dikucilkan dari pergaulan, terutama pada lingkungan yang tidak berintegritas.
Dalam proses memperoleh jawaban dari peserta, ternyata banyak manfaat yang akan dituliskan, ketimbang tantangannya. Artinya orang akan lebih mudah mengidentifikasi manfaatnya daripada tantangannya. Singkat kata, sesungguhnya semua orang akan memperoleh manfaat yang banyak dalam hidupnya apabila ia berintegritas.
Lalu pertanyaannya adalah bagaimana cara/strategi membangun integritas, khususnya dalam upaya menghindari perbuatan korupsi ? Sesungguhnya strategi membangun integritas sangatlah sederhana, yaitu dengan cara memfungsikan kecerdasan yang ada pada diri kita dengan baik dan benar. Manusia mempunyai minimal tiga kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan spiritual, dan kecerdasan emosional.
Kecerdasan intelektual kita wujudkan dalam keterampilan berpikir, kecerdasan spiritual kita implementasikan dalam bentuk pandai mensyukuri nikmat Tuhan, sedangkan kecerdasan emosional kita arahkan pada kepiawaian dalam mengelola sumberdaya yang kita miliki.
Dalam menjalani kehidupan, kita harus menetapkan visi dan misi hidup, tekad/karakter, nilai, serta strategi untuk mencapai visi tersebut. Inilah yang disebut terampil berpikir. Sebagai contoh penerapan keterampilan berpikir, dapat dikemukakan sebagai berikut :
- Visi : memperoleh kebahagiaan dunia akhirat;
- Misi : -bekerja secara profesional dan devosional (ibadah);
-bekerja sesuai norma hukum dan agama;
- Karakter : pantang menyerah;
- Nilai : jujur, sederhana;
- Strategi : membiasakan yang benar, bukan membenarkan yang biasa;
Kemudian, pada aspek kecerdasan spiritual, apapun yang kita capai dan miliki di dunia ini harus disadari bahwa itu semua hanya bersifat sementara yang berasal dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan kesadaran semacam ini, kita akan mampu mensyukuri nikmat pemberian Tuhan walau sekecil apapun. Sebuah kalimat bijak mengatakan : Mensyukuri hal-hal/nikmat yang biasa adalah luar biasa, sebaliknya mensyukuri hal-hal/nikmat yang luar biasa adalah biasa. Terkait dengan nikmat rezeki dalam bentuk materi/uang, kita harus mampu meyakini bahwa yang penting adalah keberkahan dari uang itu, bukan jumlah nominal uang. Mungkin dapat dijadikan sebagai bahan perenungan mengenai “keberkahan” adalah filosofi permainan anak-anak yang disebut “ular-tangga”. Ketika dadu yang kita gulirkan menunjuk pada angka 2 atau 6, mana diantara keduanya yang menguntungkan ? Jawabannya adalah tidak pasti (relatif), sebab setelah 2 atau 6 langkah ke depan akan menghadang ekor ular dan anak tangga. Bila akhir langkah sampai pada anak tangga, maka akan memperoleh kenaikan (positif), tapi jika akhir langkah sampai pada ekor ular, maka akan memperoleh penurunan (negatif). Begitu juga dengan jumlah nominal uang yang kita peroleh. Selanjutnya pembentukan integritas membutuhkan kepiawaian dalam mengelola sumberdaya yang kita miliki (fungsi kecerdasan emosional), jangan sampai terjadi “besar pasak daripada tiang”, kita harus bisa membelanjakan/mencukupkan harta kita pada apa yang kita butuhkan, bukan pada apa yang kita inginkan.
Apabila integritas sudah terbangun, maka tugas kita adalah memeliharanya dengan baik agar tidak mudah runtuh atau hilang dari diri kita. Pemeliharaan integritas dapat dilakukan dengan cara terus menerus melakukan kegiatan yang baik, sehingga menjadi nilai-nilai luhur yang diyakini kebenarannya, dilakukan dengan pantang menyerah sehingga menjadi perilaku sehari-hari, dan akhirnya menjadi kebiasaan yang sulit untuk diubah.
Dalam kehidupan sehari-hari, baik dalam dunia swasta, terlebih dunia birokrasi, penegakan integritas seringkali menghadapi kondisi yang kurang atau bahkan tidak ideal/kondusif, kondisi inilah yang disebut dilemma integritas. Di saat seseorang ingin menegakkan integritas, pada saat yang bersamaan dia menghadapi tekanan yang kuat, terutama yang datangnya dari luar dirinya untuk menghentikan upayanya dalam penegakan integritas. Bentuk tekanannya dapat berupa perintah atasan, pengaruh lingkungan, kekakuan sistem, dan sebagainya. Di sinilah suatu lembaga dapat memainkan perannya untuk mempersempit peluang terjadinya dilemma integritas. Lembaga seyogyanya memiliki instrumen dan prosedur penegakan integritas, serta unit kerja (struktur) atau champions sebagai penegak dan penggerak integritas. Instrumen penegakan integritas dapat berupa kode etik dan kode perilaku; sistem pengaduan masyarakat atau juga whistle blowing system; sistem pencegahan kecurangan (fraud); unit pengendalian gratifikasi, dsb.
4. Kesimpulan
Idealnya, pencegahan korupsi dilakukan dengan mempersempit atau menghilangkan peluang ke lima faktor potensi masalah penyebab korupsi (PMPK) di atas menjadi perbuatan nyata tindak pidana korupsi. Namun sebelum bisa sampai pada kondisi ideal tersebut, maka pembangunan integritas individu adalah pilihan tepat yang dapat dilakukan dengan segera, sebab dapat dilakukan secara individu dan dapat dimulai sekarang juga.