Mengawal Revisi UU Migas dan Minerba di DPR – RI Dibajak Pembajak

Dalam periode Pemerintah JKW JK ada sekitar 28 blok migas dan beberapa Kontrak Karya tambang mineral yang harus ditentukan status kelanjutan izin operasinya, setelah status blok Mahakam sudah ditentukan bahwa Pertamina sebagai operatornya pasca tahun 2017, masih ada sekitar 27 blok migas lagi yang harus segera diputuskan status operasinya untuk menjaga kestabilan produksinya dan beberapa investasi yang harus dilakukan, menurut Peraturan Pemerintah nomor 35 tahun 2004 produk dari turunan dari UU Migas no. 22 tahun 2001 untuk status perpanjangan blok migas sudah dapat diputuskan oleh Pemerintah 10 tahun sebelum berakhirnya kontrak PSC, dan seharusnya beberapa kontrak ini sudah dapat diputuskan status siapa operator kelanjutan operasinya dan bagaimana proses transisi pengelolaan itu bisa berjalan tanpa mengganggu produksinya, sementara itu beberapa Kontrak Karya pertambangan mineral dan batubara juga harus segera ditentukan nasibnya sesuai UU Minerba no. 4 tahun 2009, khususnya soal kontrak karya PT Freeport Indonesia terkait izin eksport konsentratnya yang melanggar undang Minerba, sehingga proses revisi UU Migas dan UU Minerba yang sedang dibahas di komisi 7 DPR RI harus benar benar dikawal oleh rakyat agar produk akhir Undang Undangnya tidak pro asing dan merugikan untuk kepentingan nasional.

"Serasehan penggiat kedaulatan energi untuk anak negeri" yang dilangsungkan di Dermaga Cafe sungai Musi Palembang tanggal 12 Maret 2016 berlangsung sangat meriah yang dihadiri hampir 900 orang dari berbagai kelompok masyarakat, dari berbagai kampus ditanah air yang datang, ada BEM dari Medan, BEM Universitas di Lampung, Riau ,Jakarta,Jawa Barat , Makasar, Jatim dan aktifis penggiat peduli energi Ampera serta dihadiri juga oleh sejumlah pengamat energi nasional dari jakarta seperti Marwan Batubara, Ugan Gandar sebagai Presiden FSPPB (Federasi Serikat Pekerja Pertamina Bersatu), Faisal Yusra Yusuf sebagai Presiden KSPMI( Konfederasi Serikat Pekerja Migas Indonesia), Prof Djuardi SH (ahli hukum ekonomi dari Unhas), Salamun Daeng dari Yayasan Pendidikan Bung Karnodan Cholik (ketua IPNU) Prof Ir Daniel Rosyid Ph .D (Ahli bid kemaritiman ITS), Agung Marsudi Susanto GMPK (Gerakan Masyarakat Perangi Korupsi) Riau dan Ferdinand Hutahayan dari EWI, Enny Sri Hartati dari INDEF dan Yusri Usman dari CERI yang point penting dalam pertemuan tersebut bahwa kita semua komponen ingin revisi UUMigas untuk kepentingan mensejahterakan rakyat sesuai pesan konstitusi UUD 1945 pasal 33 ayat 2 dan 3, negara dan harus berdaulat, penguasaannya oleh negara dan perusahaan negaralah diberikan hak prioritas utama dalam pengelolaan energi di negara kita, karena sejarah telah membuktikan bahwa produk Undang Undang Migas nomor 22 tahun 2001 yang proses dibuatnya diprakasai waktu itu oleh Menteri ESDM Kuntoro Mangkusubroto, fakta ini dapat ditemukan pada ” archie” di kantor Kedubes Amerika Jakarta , pada tanggal 29 Agustus 2008 Kedubes AS telah mengeluarkan pernyataaan bahwa keterlibatan USAID apa yang disebut sebagai proses reformasi sektor energi yang menjadi produk UU Migas no. 22 tahun 2001.

Adapun prosesnya diawali adanya permintaan dari Kuntoro Mangkusubroto sebagai Menteri ESDM ke USAID untuk membantu Pemerintah Indonesia dalam mereview draft UUMigas pada saat itu, dalam kesepakatan perjanjian yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia dengan USAID dalam perjanjian ”Strategic Obyective Grant Agreement” (SOGA), dalam dokumen tersebut Kedubes AS mengakui bahwa upaya meloloskan UU Migas tidaklah mudah dalam proses pembahasannya antara Pemerintah dengan Parlemen di DPR, dan adapun bantuan dana oleh USAID sebesar USD 20 juta saat itu oleh Yusri Usman patut diduga digunakan sebagi pelicin di DPR untuk memuluskan konsep UU Migas no. 22 thn 2001 an sangat liberal dan mengkerdilkan fungsi perusahaan negara yaitu Pertamina, faktanya sejak diberlakukan UUMigas no. 22 thn 2001 ternyata lifting migas kita hancur alias turun drastis yang dari awalnya sempat mencapai 1, 6 juta BOPD dan saat ini tidak mampu mencapai liftingnya 800,000 BOPD., dan informasi yang dirilis terakhir oleh kepala SKKMigas pada tanggal 5 Januari 2016 bahwa SKKMigas dalam realisasi anggarannya untuk tahun 2015 adalah sudah membayar semua ”cost recovery” untuk seluruh KKKS sebesar USD 13, 9 miliar dan hanya mendapat ”revenue” yaitu ( PNBP/ Penerimaan Negara Bukan Pajak ) sebesar USD 12, 86 miliar dan negara menombok biaya sebesar USD 1,04 miliar kepada KKKS , jadi menurut Yusri Usman nah kalau sudah begini untuk apalagi dipertahankan lembaga SKKMigas ini, keberadaannya bukan membantu negara malah menjadi beban negara, apalagi banyak kasus korupsi luar biasa yang terungkap sejak lembaga tersebut masih bernama BPMigas yang telah dibatalkan oleh produk hukum Mahkamah Konstitusi pada tanggal 13 November 2012, adapun kasus korupsi yang menonjol adalah kasus penjualan kondensat bagian negara oleh BPMigas / SKKMigas kepada TPPI yang potensi kerugian negara mencapai 37 triliun,kasus Kernel Oil oleh Rudi Rubiandini dalam tender kondesat dan minyak mentah pada agustus 2013, nah bagaimana juga dengan keterangan Barullah Akbar dari BPK RI pada akhir tahun 2013 mengeluarkan pernyataan di beberapa media bahwa ada dugaan korupsi sewa wisma Mulia untuk kantor SKKMigas pada Djoko Chandra yang saat ini buron dalam kasus hukum ”Cesie Bank Bali” dan FSO Joko Tole yang katanya kerugian negaranya bisa lebih besar dari kasus Century, bahkan belakangan ditahun 2015 terungkap adanya penjualan minyak bagian negara di blok Cepu kepada kilang swasta PT TWU tanpa proses tender yang dilakukan oleh Exxon Mobil Cepu berdasarkan kuasa jual oleh BPMigas tahun 2011, hal hal inilah yang pertanyaan besar mengapa penegak hukum masih tidak menyidik kasus ini Yusri Usman ungkapnya heran dengan penuh tanda tanya. Sementara konsumsi BBM kita hari ini sudah mencapai 1,6 juta BOPD, sehingga kita mengimport minyak mentah dan produk BBM sudah mencapai sekitar 900.000 BOPD sungguh ironis memang karena dulunya negara kita sebagai pengeksport migas dan sekarang rakus importnya, sementara Ibu Eny dari INDEF menegaskan jangan sampai Anugrah ALLAH SWT berupa sumber daya alam yang melimpah akan menjadikan kutukan bagi bangsa kita. Sementara itu Ferdinand Hutahean dari EWI bersikap keras dengan kelihatannya banyak pemimpin dan pejabat pejabat kita ini ”sesat pikir” kecuali Pak Habibie dan Bung Karno yang sangat komit dan konsekwen terhadap ideologi Trisakti dan Nawacitanya, dia mengutarakan lebih jauh kalau melihat dari Sabang sampai dengan Marauke bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakatnya disekitar lokasi proyek migas dan tambang, sangat tidak Signifikan taraf hidupnya.

Sementara itu Salamun Daeng ada banyak penyimpangan negara dalam memberikan izin konsesi dalam pengelolaan Sumber Daya Alam saat ini , hasil kalkulasinya dari seluruh izin izin untuk konsesi migas, tambang mineral, perkebunan dan kehutanan serta perikanan dan kawasan industri sudah melebihi luasan seluruh darat wilayah NKRI, jadi kedepannya jelasnya , jangan heran bahwa rakyat kita menyewa kepada investor asing utk bisa hidup dinegaranya sendiri.

Sementara itu Agung berkata keras soal status kedepan kontrak blok Rokan oleh Chevron di Riau, bahwa setiap pengelolaan blok migas dan tambang mineral diatas 50 tahun adalah sama saja dengan invasi suatu negara melalui korporasinya pada negara kita.

Nah kalau melihat fakta fakta yang sudah terjadi maka bisa bisa para arwah pendiri bangsa ini dikuburan akan menangis menyaksikan masa depan negeri ini dalam memasuki era pasar global, tutup Yusri Usman dalam penjelasannya.

Sumber : www.repelita.com

Kantor DPP GMPK

Jl. Budi Raya No. 9 B
Gedung DNR Lantai 1
Kebon Jeruk
Jakarta Barat
Kode Pos 11530
Telp : (021) 532-7604
Email: informasi@gmpk.org

Kirim Pengaduan

Silahkan mengirim artikel anda ke dumas@gmpk.org

Peta Lokasi Kantor

Ke atas